Komentar Komentar

KOMENTAR AGUNG PUTRI SEKALIGUS SAMBUTAN DALAM PEMBUKAAN PAMERAN

Haruskah saya memberi makna pada pameran ini? Selesai membaca konsep dasar pameran ini, “after history,” saya mengirim teks pada Guswest, bertanya: apa kegunaan saya dalam pameran ini? Gagasan pameran ini bagi saya brilian, di luar kapasitas pikir saya. Hasil dari perbincangan singkat dengannya sebenarnya belum banyak membantu. Saya tetap merasa sedang dituntut untuk mengerti dengan sendirinya. Pertanyaan saya menggiring saya membongkar kembali koleksi buku yang sudah lama tertumpuk tak saya sentuh. Membacai Arturo Escobar, William Morris, dan , Terry Eagleton malah membawa saya ke “suatu peristiwa di Banten Selatan” (Pramoedya) dan Kumpulan Cerpen pilihan Kompas tahun 2009. Menelusuri berbagai tulisan dan teks tentang art and resistance melalui metode google hingga ke website-website menarik tak memberi saya gambaran apa-apa. Tetapi saya justru terhanyut memikir kembali tema-tema besar yang selama ini mungkin saya kunyah dengan cara yang sangat instrumentalis. Mungkin sekali sebenarnya saya sudah tebal kulit, membiarkan orang menulis apa saja di media massa. Saya cuma menyumpahi banyak tulisan di media massa yang saya anggap hanya membuang tinta cetak dan kertas setelah ribuan pohon orang Papua habis ditebang menjadi pulp. Saya menemukan momen untuk menata kembali rekam jejak pikiran.

Dan jawabannya saya temukan. Tidak harus. Saya tidak harus memberi apa-apa. Saya datang ke pameran ini tidak untuk tampil memberi stempel. Pun saya tidak tertarik untuk membuat ulasan seni atas gagasan, proses maupun karya mereka. Para perupa ini. Saya tidak pantas dan tidak ada perlunya. Ini soal sederhana saja... Saya bagian dari mereka.

Untuk menjadi bagian dari mereka, diperlukan kekejian, dua buah perang suku yang mendunia, perkosaan massal dan perbudakan seksual, di Nanking, di Jawa, di Burma, Bosnia-Herzegovina, Rwanda, Aceh, Timor Leste, dan berkali gerakan ‘mati syahid’ di Bali. Puluhan orang yang hingga saat ini menunggu eksekusi hukuman mati oleh berbagai rupa vonis pengadilan. Serta ribuan Penderita menunggu keberanian pemerintah membuat sendiri obat penyembuh HIV/ AIDS. Ribuan bayi siap dijual di pasar gelap. Kisah a la Slumdog Millionaire terjadi di Jakarta, Bogota, Meksiko. Siapakah mereka ini. Tidak lain anak peradaban yang hancur.

Saya tertarik pada Sudjojono bukan karena gelar bapak seni lukis modern Indonesia. Tetapi karena ia bicara tentang seni Indonesia ketika 90% orang percaya bahwa Hindia Belanda itulah peradaban terakhir manusia. Saya memikirkan Tirto Adhisoerjo, bukan karena gelar bapak pers Indonesia, tetapi tingkahnya memaksa Idenburg menghujamkan titah yang mematikan jalan hidupnya. Dan mungkin Kartini. Menyebut nyonya satu ini, terasa klise dan membosankan: Tokoh emansipasi wanita. Padahal yang paling berharga dari nyonya ini adalah rasa frustrasinya pada poligami, feodalisme, kepicikan pikir pribumi tetapi masih merasa berkuasa atas perempuan dan orang miskin.

Bukan kepahlawanan yang sedang dikatakan di sini. Namun mereka yang bernapas ketika system sekarat. Dua yang terakhir adalah produk politik etis, politik untuk memungut yang masih tersisa dari kegagalan liberalisme klasik a la van Deventer. Pikiran mereka memang tak jauh dari aroma kaum etisi tapi menariknya toh sampai hari ini kita juga sedang berhadapan dengan banyak sejenisnya kaum etisi. Seringkali pula kita berfikir a la politik etis. Sedang yang pertama, Sudjojono adalah produk jaman malaise, krisis ekonomi dunia tahun 30an.

Bukan momen kebangkitan yang kita bicarakan, bukan pula momen perlawanan. Tetapi momen pergulatan hidup. Ketika Suara Ibu Peduli berdiri berpanas di bundaran HI, Jakarta bulan Mei 1998, itu bukan momen kebangkitan perempuan namun pergulatan ibu meminta susu murah. Dan memang tidak masuk akal ada kebangkitan ketika dua hari kemudian sekitar 73 perempuan diperkosa di Jakarta, solo dan medan. Sebenarnya jumlah korban sekitar 200 hingga 400, tetapi angka 73 inilah yang bisa diterima semua pihak yang menjadi anggota TGPF. Tidak hendak membuat angka sebagai suatu drama atau tragedi, tapi bagaimana mungkin kita mengatakan kemiskinan terjadi akibat dari kelebihan penduduk yang dalam praktek berarti digelarnya operasi safari KB dan Rapsus (Penggarapan Khusus) oleh satuan KODIM, PKK, dan muspika yang menyusuri seluruh pedesaan Jawa dan Bali. Memerangi kemiskinan, memerangi perempuan.

Sejarah memang tidak bercerita tentang perempuan. MEmang tidak ada HErStory. Namun perempuan tidak saja tidak diceritakan. Perempuan adalah musuh. Alat kelamin perempuan, alat reproduksinya dicaci maki sebagai biang kemiskinan, pengumbar nafsu, pemancing perang suku, merusak akhlak bahkan seorang presiden Negara super power seperti Bill Clinton jatuh karena perempuan. Kata orang setan mudah menyusup di tubuh perempuan. Oleh sebab itu pemerintahan di Kabul memerintahkan penggunaan Burqa bagi perempuan di seluruh Afghanistan. Bupati Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, memerintahkan perempuan menggunakan baju perempuan sebagaimana diatur dalam peraturan bupati. Perempuan berhadapan dengan sejarah. The woman is after history.

Sementara itu Perempuan bukan pula Bunda Maria atau Btari Durga maupun Siti Kadidjah…Sebab Suka tidak suka ada yang merasa hatinya perempuan padahal ia berkelamin laki-laki. Ada yang berkelamin perempuan tetapi bukan kepada Laki-laki ia ingin mengabdikan cintanya. Dimanakah tempat mereka dalam sejarah? Di jaman commodifying, komoditi, mereka yang mengabdikan hidupnya pada kegiatan seksual komersial telah dikirim ke hutan-hutan papua dan kalimantan sebagai duta pasar bebas. Banyak pula ibu rumah tangga, “iboe bangsa”, penggerak PKK yang kini menjadi kurir penjualan Narkoba. Sama dengan Jugun Ianfu atau baboe laoet ingatan tentang mereka mungkin bukan sejarah tetapi pasti adalah his Story –hiStory.

Diskriminasi. Penandaan (labelisasi atau stigmatisasi) dan penyingkiran adalah dua sisi dari satu mata uang yang sama. Untuk menyingkirkan diperlukan penandaan. Sejarah lahir dari kenyataaan diskriminasi, namun historisisme hanya ada untuk tujuan memastikan diskriminasi. Ketika louise henkin menyebut abad ini adalah abad hak, the era of rights maka disitu ia bicara tentang abad diskriminasi. Tepatnya abad menyuarakan diskriminasi, voicing the voiceless. Nelson Mandela bukan suatu titik balik. Sebab kita belum menghitung rigoberta menchu, mama yosepha alomang, shirin ebadi dan ken saro wiwa. Tetapi ia menghentikan apartheid menutup layar panggung praetorianisme. Apartheid adalah kekejaman umat manusia yang tak dapat dimaafkan, tetapi Nelson Mandela memaafkan. Umat manusia terperangah. Seorang kulit hitam, keturunan budak, memaafkan kulit putih, keturunan majikan. Durban Conference Against Racial Discrimination 2001 dan 2009 mengganggu rasa rasialis yang berabad dipelihara melalui pematokan lahan hingga berbagai ilmu pengetahuan serta cita rasa seni. Kini tidak lagi mudah menyembunyikan dan memanipulasi rasialisme dalam perang palestina-israel maupun terhadap masyarakat muslim setelah 9/11. Demikian terhadap homoseksual dan masyarakat dari komunitas merdeka di sudut-sudut bumi, demikian pula terhadap perempuan.

Hingga malam ini melawan diskriminasi masih omong kosong. Mimpi. Dan pameran ini mungkin masih seperti mimpi dan tidak masuk akal bagi banyak orang ketika mereka memilih menjadi bagian dari mereka yang terdiskriminasi. Tidak dengan gambar tidak pula dengan gerakan. Kembali pada sudjojono, katanya:

“Janganlah menyangka bahwa kebesaran sesuatu itu terletak pada hebatnya cerita, pada motif atau muluk-muluknya titel, tetapi lebih baik peliharalah jiwamu... Insya allah kesenianmu akan besar, meskipun kamu menceritakan melati, kesenianmu akan hebat, meskipun kamu menyanyikan sunyi, kesenianmu akan abadi, meskipun kamu melagukan mati.”

Malam ini saya bersyukur bahwa saya boleh menjadi bagian dari peradaban yang hancur ini. Karenanya saya berkesempatan untuk ikut memberikan makna, bersama mereka yang karyanya akan kita lihat malam ini.

Akhir kata, sukses untuk lima bung besar ini... dalam karir, cinta, dan politik.

Terima Kasih, Selamat malam